Ahlan wa Sahlan

Ini adalah blog informasi dan komunikasi tentang proses pendidikan dan kegiatan-kegiatan pondok di Pondok Modern An-Najah Cindai Alus Putri, serta forum keilmuan Islam bersama para Ustadz-Ustadzah Pondok Modern An-Najah Cindai Alus Putri

An-Najah

An-Najah

Sabtu, 25 Juni 2011

Mengajar Tauhid dengan Filsafat

Oleh: Yunizar Ramadhani
(Staf Pengajar di Pondok Modern An-Najah & Alumni Jurusan Aqidah-Filsafat Fakultas Ushuluddin)


Kata orang mengajar Ilmu Tauhid itu sulit. Sebab, ilmu ini berhubungan dengan keimanan yang tentu saja sangat sensitif, sehingga untuk mengajarkannya diperlukan konsentrasi dan kewaspadaan yang sangat tinggi agar ilmu yang diterima santri dan anak didik bukan berupa kesalahan yang berakibat pada keimanannya. Pada sisi ini, mengajarkan ilmu Tauhid memang suatu kesulitan, namun berbeda kiranya jika kita mengetahui, menguasai dan mempraktekkan metode mengajar yang tepat. Metode tepat tersebut, sejauh pengalaman saya, didapat selama perjalanan saya menimba ilmu di Fakultas Ushuluddin lewat petualangan keilmuan dalam bidang Filsafat yang sangat membantu dalam upaya menjelaskan ilmu Tauhid secara logis dan sistematis.[1]
Saya pernah mengajar di sebuah pondok pesantren yang terbilang modern, meski pihak pondok tidak pernah mengakui. Dalam corak kemodernannya yang sangat kentara itu, pondok ini tetaplah pondok pesantren, yang ciri khasnya adalah tersedianya pelajaran-pelajaran orisinil Islam, seperti Tauhid, Fiqih, Nahwu, dan lain-lain. Di pondok ini saya mengajar santri-santri kelas 2 tingkat Tsanawiyah yang tentu saja terdiri atas anak-anak berumur belasan tahun. Anak-anak setingkat ini lebih menyukai hal baru yang menarik, menghibur, dan mudah untuk difahami,[2] sehingga mengajar Ilmu Tauhid di kelas ini merupakan suatu tantangan tersendiri, dimana Ilmu Tauhid harus dikemas dalam bentuk yang menarik, menghibur, dan mudah untuk difahami pula.
Metode, itulah yang terpenting dalam mengajar, sebab pada akhirnya, tujuan ta’lim adalah ittishal al-‘ilm min dzihn al-mudarris ila dzihn al-mutadarris (sampainya ilmu dari pikiran pengajar kepada pelajar).[3] Agar ittishal al-‘ilm itu dapat terwujud diperlukan metode yang tepat dalam penyampaian suatu pelajaran. Di lain pihak, ilmu Tauhid merupakan ilmu yang berhubungan erat dengan ilmu akal atau Logika,[4] dan Logika adalah bagian dari metode Filsafat dalam merumuskan teori-teorinya. Dengan demikian, Filsafat memiliki peran penting dalam pembelajaran Ilmu Tauhid.
Dalam mengajar ilmu Tauhid saya menggunakan teori-teori dan pola-pola Filsafat. Sebagai contoh di sini adalah penggunaan argumen Kosmologi ketika menjelaskan sifat wujud bagi Allah. Kosmologi menyebutkan bahwa kemunculan alam semesta, termasuk manusia, didasarkan atas hukum sebab-akibat. Suatu benda ber-ada karena suatu sebab. Sebab itu sendiri merupakan akibat dari sebab yang lain. Begitu seterusnya sehingga rangkaian sebab-akibat itu mencapai prima causa atau sebab primer yang Maha Absolut, dimana tidak ada lagi sebab yang mendahuluinya. Dalam konteks Ilmu Ketuhanan, prima causa tersebut adalah Tuhan (Allah). Dalam Filsafat Islam, teori ini mendapat tempat utamanya dalam teori emanasi al-Farabi, yakni rangkaian wujud bertingkat sepuluh yang dimotori akal-akal. Akal utama menyebabkan wujud pertama, wujud pertama berfikir sebagai akal pertama yang menyebabkan wujud kedua, ia kemudian berfikir sebagai akal kedua yang menyebabkan wujud  ketiga, dan seterusnya.
Tentu saja menjelaskan teori ini tidak dalam bahasa demikian. Saya dibantu oleh pola Analogi. Saya menjelaskan tentang sebuah buku yang dimiliki anak-anak didik saya. Adanya buku yang ada di tangan mereka disebabkan oleh penjual buku, penjual buku mendapatkannya dari distributor, distributor dari penerbit, penerbit mendapatkannya dari penulis buku. Banyak contoh-contoh analogis lain yang saya gunakan dalam penjelasan.
Contoh lain lagi adalah penggunaan argumen Teleologis tentang keteraturan alam semesta. Argumen ini berdasar pada fakta bahwa alam semesta memiliki keteraturan yang sempurna – hal ini belakangan didukung oleh teori-teori sains.[5] Keteraturan ini ada karena hukum alam yang berlaku. Hukum yang melahirkan keteraturan alam tersebut menandakan bahwa alam semesta memiliki tujuan tertentu. Seperti layaknya sebuah jam yang susunannya begitu rumit dan begitu sempurna keteraturannya yang ditujukan untuk alat informasi waktu, alam semesta yang tersusun begitu rumit dan teratur sempurna juga mengandung tujuan tertentu. Adanya tujuan keberadaan alam semesta tentu menegaskan keberadaan pembuat tujuan, sehingga sampai di sini keberadaan Allah tidak dapat terbantahkan.
Argumen ini lagi-lagi saya jelaskan dengan cara yang mudah difahami, yakni dengan memberikan contoh analogis yang paling dekat dengan kehidupan sehari-hari santri saya. Kehidupan mereka sehari-hari terlihat sangat rapi. Sejak bangun tidur di waktu subuh, seluruh penduduk pesantren beraktifitas dengan teratur dan bersama-sama. Saat waktu shalat tiba semuanya pergi ke masjid, waktu masuk kelas semua masuk kelas, waktu santai semua santri pun bersantai, waktu ada acara wajib semua mengikutinya, demikian seterusnya. Hal ini terjadi karena ada jadwal kegiatan yang diikuti oleh seluruh warga pesantren. Hukum tersebut tentu saja disusun oleh para pengelola pondok pesantren dengan mudir (pimpinan pondok) sebagai pemimpinnya. Sistem seperti ini dimaksudkan untuk memberikan layanan pendidikan yang tujuannya adalah agar setiap santri dapat belajar berdisiplin dan lulus sekolah sebagai pelajar yang pintar dan berdisiplin.
Dengan keterangan tadi, jelaslah bahwa Filsafat tidak semestinya terkesan sebagai ilmu yang “menyeramkan” dan eksklusif. Justru jika disampaikan atau dibahasakan dengan sederhana, Filsafat dapat membantu menjelaskan ilmu-ilmu lain, sebagaimana saya praktikkan seperti di atas. Tidak hanya itu, Filsafat dengan bahasa yang simple justru dapat diaplikasikan dalam hidup sehari-hari, sehingga Filsafat terasa sangat dekat dan menjadi bagian dari hidup. Dari inilah saya bangga pernah belajar di Jurusan Aqidah-Filsafat Fakultas Ushuluddin.



[1] Yang saya maskud di sini bukan berarti mengajarkan Filsafat, melainkan metode-metode berfikir Filsafat, seperti Logika dan Dialektika, dipakai dalam menjelaskan Ilmu Tauhid.
[2] Periode kejiwaan yang dimaksud disebut daur al-Thufulah (masa kanak-kanak). Lihat dalam Imam Zarkasyi, dkk, al-Tarbiyah wa al-Ta’lim (al-majlad al-awwal B), (Ponorogo: Trimurti Press, 1990), h. 25
[3] Lihat dalam Imam Zarkasyi, dkk, al-Tarbiyah wa al-Ta’lim (al-majlad al-Tsani), (Ponorogo: Trimurti Press, 1990), h. 5
[4] Teks yang menyebutkan hal ini adalah: “al-‘aqlu huwa al-washf al-ladzi yamtazu bihi al-insan…wa bihi yata’allaqu ilm al-tauhid”. Lihat Abdur Rahim Hakim, Kitabus Sa’adah fi ‘Ilm al-Tauhid, (Surabaya: al-Hidayah, 1995), h. 5
[5] Sebagian ilmuwan membenarkan adanya keseimbangan dalam alam semesta yang digambarkan dalam sistem bilangan, misalnya keseimbangan materi dan antimateri hingga 1/10 miliar ukuran reduksi. Ada pula penemuan bahwa pembentukan acak sebuah enzim dari asam amino di manapun di bumi adalah 1 berbanding 10 pangkat 20. Jika manusia memiliki sekitar 2000 enzim, maka peluang enzim-enzim itu terbentuk secara acak adalah 1 berbanding 10 pangkat 40000. Saiyad Fareed Ahmad dan Saiyad Salahuddin Ahmad, 5 Tantangan Abadi Terhadap Agama dan Jawaban Islam Terhadapnya, diterjemahkan dari judul asli God, Islam, and Skeptic Mind: A Study of Faith, Religious Diversity, Ethics, and the Problem of Evil oleh Rudy Harisyah Alam, (Bandung: PT. Mizan Pustaka, 2008), Cet. I, h. 25

Tidak ada komentar:

Posting Komentar